TIPS MEMILIH PASANGAN
Sempat ngobrol dengan beberapa senior di kantor, obrolannya tentunya ga jauh-jauh. Sandi kapan Nikah? terus tak lupa mereka kasih tips-tips buat milih calon, maklum mereka sudah berpengalaman semua
^_^
Tips memilih pasangan hidup:
1. Carilah pasangan yang berasal dari daerah yang sama dengan tempat kita tinggal sekarang, atau paling tidak sejalur dengan daerah asal kita, atau berada ditengah-tengah antara daerah asal kita dan tempat tinggal kita saat ini, atau satu daerah dengan daerah asal kita. Jadi misalnya saya mau cari istri alternatifnya adalah orang bandung dan sekitarnya, orang jawa tengah dan sekitarnya, atau orang jawa timur terutama orang Situbondo. Berdasarkan petuah dari senior (hehehe) hal ini untuk mempermudah dalam proses lamaran, selain itu kalo mudik biar praktis dan mudah, hmmm bener juga sih.
2. Carilah pasangan yang bekerja, sudah jelas pasangan yang bekerja akan sangat membantu meringankan beban perekonomian rumah tangga. Apalagi kalo istriku nanti satu kantor…. beuh, kalo dapet bonus bisa kali 2 tuh.
3. Carilah pasangan yang tidak membawa beban keluarga, maksudnya calon pasangan kita kalo bisa berasal dari keluarga kecil, yang tidak terlalu banyak saudara baik itu kakak atau adik. Coba bayangkan kalau calon istri/suami terlalu banyak saudara kandung, misal adik jumlahnya 5 ekor saja dan semuanya masih ketjil2, kebayangkan istri/suami kita sebagai tulang punggung keluarga, lain itu kalo mudik kita harus siap Angpau yang tentu saja jumlahnya tidak sedikit.
4. Carilah pasangan yang berasal dari keluarga berada, bahasa jujurnya Orang Kaya. Walopun kita tentunya tidak mengharapkan bantuan dari pihak mertua, tapi yah…setidaknya masa depan kita cukup cerah, hehehe.
Tips ini tidak harus dijalankan semua, karena memang di dunia ini tidak ada yang sempurna, dan satu hal yang patut kita ingat, kita hanya bisa berusaha, selebihnya hanya Allah Subhanahu wata’ala yang telah mengatur takdir kita.
Segala hidup, mati dan jodoh manusia ada didalam genggaman Sang Maha.
SELUK-BELUK HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA[1]
Oleh Rifyal Ka’bah
PERKAWINAN
Perkawinan adalah nuklus sebuah masyarakat yang melahirkan hak dan kewajiban. Karena itu, perkawinan diatur dalam sebuah hukum yang disebut hukum perkawinan.
Hukum perkawinan Islam pada dasarnya adalah sebuah hukum yang bersifat diyâni, tetapi kemudian dikembangkan sebagai hukum yang berseifat qadhâ’î berdasarkan politik hukum Islam atau as-siyâsah asy-syar‘iyyah. Perkawinan diyâni diselenggarakan sesuai nushûsh agama dari Qur’an dan Sunnah Nabi. Sedangkan perkawinan qadhâ’î diselenggarakan sesuai dengan kebijakan tertentu pemerintah atau peraturan perundang-undangan. UU No. 1 Tahun 1973 tentang Perkawinan menggabungkan kedua bentuk hukum tersebut di mana dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan berdasarkan keyakinan agama dan perkawinan tersebut dicatat oleh negara melalui lembaga pencatatan yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Dalam istilah al-Qur’an, perkawinan disebut an-nikâh dan az-zawâj. Kata asal an-nikâh berarti al-’aqd (perjanjian, kontrak), kemudian digunakan untuk menunjukkan pengertian al-jimâ’ (persetubuhan). Sedangkan az-zawâj berarti perpasangan antara jenis laki-laki dan perempuan, atau antara jantan dan betina, atau antara dua jenis yang berbeda, tetapi menyatu dalam fungsi.[2] Dari pengertian ini, maka perkawinan sesama jenis, seperti dilakukan oleh kaum homoseksual dan lesbian, sebenarnya tidak dapat disebut perkawinan. Perkawinan sejenis ini adalah ibarat memakai sepatu yang kedua-duanya kiri atau kedua-duanya kanan sehingga tidak dapat dikatakan sebagai pasangan yang cocok. Di negara-negara tertentu yang menjalankan politik sekularisasi, perkawinan pasangan berlainan jenis dizinkan oleh undang-undang. Hal itu karena perkawinan di negara-negara hanya diakui sebagai kontrak sekular belaka dan perkawinan secara agama terlepas dari urusan negara. Indonesia mendasarkan perkawinan menurut keyakinan agama penduduk, sementera itu tidak ada agama di negeri ini yang membolehkan perkawinan kaum homoseksual dan lesbian, maka perkawinan sejenis seperti ini tidak mungkin diakui.
Jadi, perkawinan sebenarnya adalah pertemuan dua orang manusia berlainan jenis, yang diikat oleh sebuah perjanjian sehingga menyatu secara fisik dalam bentuk pesetubuhan serta hubungan badan lainnya dan secara batin dalam bentuk ikatan batin untuk mencapai tujuan perkawinan.
Sebagai perjanjian atau kontrak, maka pihak-pihak terikat dengan perjanjian atau kontrak sepakat menyatakan akan membina rumah tangga yang bahagia lahir-batin dengan melahirkan anak-cucu sebagai penerus cita-cita mereka. Bila ikatan lahir dan batin tidak lagi dapat diwujudkan dalam perkawinan, misalnya tidak lagi dapat melakukan hubungan seksual, atau tidak dapat melahirkan keturunan, atau masing-masing sudah mempunyai tujuan yang berbeda, maka perjanjian kadang-kadang perlu dibatalkan atau paling kurang ditinjau kembali. Bentuk peninjau kembali dapat berupa introspeksi dari masing-masing pihak, atau thalâq raj’î (perceraian yang bisa dirujuki kembali karena masing-masing pihak bersedia memperbaiki diri). Qur’an menyebutkan peninjauan kembali jenis terakhir ini dengan “penahanan dengan ma’rûf atau pelepasan dengan ihsân”.
Perkawinan adalah kebutuhan rohani dan jasmani manusia, karena itu tidak ada orang yang menolak perkawinan bila mendapat pasangan yang cocok. Kebutuhan ini sudah merupakan “build-in” yang ditanamkan Allah dalam setiap diri manusia sewaktu penciptaannya. Karena merupakan kehendak Allah s.w.t., maka perkawinan harus dilaksanakan sesuai sunnah (ketentuan)-Nya. Allah menyatakan di awal surah an-Nisâ’ bahwa di antara tanda kebesaran-Nya, Ia menciptakan manusia berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan, agar masing-masing merasa tenteram dengan pasangannya dan tercipta kasih sayang di antara mereka. Inilah yang menjadi inti tujuan perkawinan yang diserap oleh Pasal Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentangt Perkawinan. Karena itu, usaha apa pun hyang dilakukan untuk menjadikan perkawinan sebagai kontrak qadhâ’î semata harus dicegah.
Karena harus sesuai dengan ketentuan Allah, maka perkawinan, hanya mungkin dilakukan antara pasangan yang mempunyai keyakinan yang sama, yaitu sama-sama muslim. Perbedaan keyakinan dalam suatu keluarga dapat mengancam ketenteraman rumah tangga, apa lagi bila sudah ada keturunan. Anak-anak yang belum dewasa akan menjadi bingung melihat keyakinan agama orang tua mereka yang berbeda. Soal beriman atau kafir memang pilihan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, karena ini adalah bahagian dari kemerdekaan memilih agama yang diajarkan Islam, tetapi untuk keluarga, pilihan agama tersebut tidak boleh berbeda antara anggota-anggotanya. Dalam revisi UUP yang akan datang harus dicegah adanya perkawinan beda agama, karena ini tidak sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara dan Pasal 29 ayat (2) dan (2) UUD 1945.
Perkawinan dimulai dari perjanjian antara calon suami dan calon isteri yang disebut kontrak perkawinan (‘aqd an-nikâh). Kontrak ini dilakukan di depan seorang penghulu sebagai pencatat kontrak, mirip seorang notaris dalam perjanjian biasa, disaksikan paling tidak oleh dua orang saksi dan pembayaran mas kawin oleh suami kepada isteri dalam jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Perkawinan dapat disebut sebagai salah satu lembaga masyarakat yang melahirkan berbagai hubungan. Pertama adalah hubungan darah kepada anak cucu. Kedua adalah hubungan semenda kepada keluarga asal kedua belah pihak. Ketiga adalah hubungan kewarisan. Keempat adalah hubungan hak dan kewajiban. Ini tentu di samping hubungan ketetanggaan karena sebuah keluarga hidup salam suatu lingkungan masyarakat. Begitu banyaknya hubungan yang dilahirkan oleh lembaga ini sehingga memerlukan pengaturan yang rinci dari agama dan/atau perundang-undangan negara. Semua hubungan ini diatur dalam sebuah sistem yang disebut sistem perkawinan Islam yang saling mengokohkan antara satu bagian dengan bagian yang lain. Bila ada bagian yang dirusak atau ditinggalkan, atas nama apa pun, ia akan mempengaruhi sistem secara keseluruhan. Misalnya dengan merusak hubungan darah, atas nama pembaharuan hukum, maka akan merusak hubungan kewarisan dan selanjutnya merusak hubungan hak dan tanggungjawab, dan seterusnya.
Seorang pengamat menggambarkan sistem hukum Islam bagaikan sebatang pohon yang tumbuh dari bibit yang bernama Islam. Bibit tersebut sejak ditanam pada zaman Nabi Muhammad s.a.w. sekarang telah berurat dalam, berpohon besar, berdahan, beranting, berdaun, berbunga dan berbuah. Bunga atau buahnya bisa dipetik, benalu-benalu yang tumbuh di dahan dan ranting dapat dibuang, daun-daun bisa dirapihkan, tetapi urat tunggang, batang, dahan dan cabang utamanya tidak boleh dipotong, karena tindakan seperti ini akan merusak pohon Islam.[3] Ini juga berlaku untuk hukum perkawinan Islam sebagai sebuah sistem Islam. Perubahan apa pun yang dilakukan terhadap hukum perkawinan Islam tidak boleh memotong dahan-dahan dan cabang-cabang utamanya, apalagi urat tunggang dan pohonnya.
Akhir-akhir ini ada kecenderungan dari kelompok tertentu masyarakat yang ingin mengotak-atik sistem perkawinan Islam dengan memperalat prinsip-prinsip yang asing dari ajaran Islam. Kelompok ini biasanya bertolak dari ajaran demokrasi, kesetaraan gender, pluralisme, hak asasi manusia dan lain-lain. Sebenarnya tidak ada masalah bila mereka membicarakan prinsip-prinsip tersebut dalam konteks dari mana prinsip-prinsip tersebut berasal. Permasalahan muncul ketika para pengagas kecenderungan ini mengatasnamakan gagasan mereka sebagai gagasan Islam, pada hal titik tolak mereka tidaklah dari landasan Islam.[4] Kecenderungan ini menurut sementara pengamat adalah buah dari belajar Islam kepada orang Barat atau orang yang tidak meyakini kebenarannya sebagai agama yang berasal dari Allah s.w.t.
PENYESUAIAN TERHADAP KELUARGA
Penyesuaian perkawinan cukup bervariasi, Eshlemen (1985) menyatakan bahwa penyesuaian dalam perkawinan meliputi persetujuan suami istri dalam hal yang dirasa penting, berbagi tugas – tugas dan kegiatan yang serupa dan saling memperlihatkan kasih sayang. Masalah penyesuaian adalah suatu hal yang sifatnya universal dan unik, karena setiap individu mau tidak mau harus menghadapi kesulitan didalam kehidupan rumah tangganya, sehingga perlu melakukan penyesuaian antara pasangan suami istri dalam suatu perkawinan.
Banyak hal yang terjadi di dalam sebuah perkawinan yang membutuhkan pengertian satu dengan yang lain. Bagaimana pasangan suami isteri dapat menjalankan perannya masing-masing ? Bagaimana dengan komunikasi yang di jalankan pasangan suami isteri tersebut ? Pada waktu pacaran mungkin pasangan suami isteri masih menutupi sifat aslinya, tapi ketika pasangan suami isteri menikah mulai tampaklah sifat aslinya. Hal ini sering membuat pasangan kaget dan dapat menimbulkan perselisihan atau konflik.
Bahwa penyesuaian diri dalam perkawinan dibutuhkan suatu pengertian, pemahaman, saling menghargai dan menghormati pada setiap masing masing pasangan serta menerima kelebihan dan kekurangan yang dimiliki setiap pasangan. Kunci yang paling utama dalam perkawinan adalah komunikasi
Perceraian Dan Pernikahan Kembali
Tentu lazimnya tak seorang pun yang, ketika memasuki kehidupan pernikahannya, sudah membayangkan akan menghadapi situasi bercerai dengan pasangan yang bakal dinikahinya. Pada umumnya tentu setiap orang mengharapkan sebuah pernikahan yang diwarnai dengan cinta kasih dan kesetiaan, serta langgeng, “sampai maut memisahkan kita.” Apalagi, prinsip iman Kristen tentang pernikahan–monogami (satu pasangan), fidelitas (kesetiaan) dan indisolubilitas (tak terceraikan)–memperkuat idealisme semacam ini.
Akan tetapi, idealisme semacam ini kerap harus berhadapan dan bahkan berbenturan dengan kenyataan yang berbicara lain. Ada seribu satu alasan yang memaksa sebuah pasangan untuk sampai pada sebuah kesimpulan tragis bahwa pernikahan yang mereka perjuangkan ternyata tidak berjalan sebagaimana yang mereka impikan sebelumnya. Mulai dari ketidakcocokan yang muncul dan menumpuk selama bertahun-tahun, yang tidak berhasil diatasi dan malah makin bertambah-tambah, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menjadikan perkawinan seperti sebuah neraka bagi suami atau istri (kebanyakan bagi sang istri).
Berhadapan dengan benturan antara idealisme dan realisme pernikahan kristiani ini, kita perlu memberikan sebuah sikap yang sekaligus teologis dan etis. Keduanya perlu diperdampingkan bersama-sama sebab, jika tidak, pemisahan keduanya hanya akan memunculkan sikap yang tak berimbang dan mandul dalam menyikapi persoalan perceraian. Pendekatan yang melulu teologis, tanpa perimbangan etis, hanya akan menghasilkan sikap-sikap ideologis, yang tampaknya kokoh dan tegas, namun sebenarnya jauh dari empati atas persoalan-persoalan hidup manusia. Sebaliknya, pendekatan yang mengaku diri etis, tanpa pemerkayaan teologis juga berbahaya, karena ia mudah sekali tampil terlalu situasional, tanpa prinsip dan kedalaman. Almarhum Eka Darmaputera menunjukkan soal yang serupa, ketika ia menulis begini;
Sebab, apa gunanya “teologi”, bila tidak diterjemahkan secara “etis”, sehingga mampu memberi pegangan hidup yang kongkret? “Teologi” macam beginilah yang menghasilkan penganut-penganut fanatik, tapi tanpa “etika” … Sebaliknya “etika”, saya akui, juga tak akan bermanfaat bila tidak dilandasi oleh keyakinan “teologis” yang jernih dan pasti. “Etika” macam begini, tidak akan mampu memenuhi fungsinya, yaitu memberi pegangan apa bagi tingkah laku. Sebab semuanya tergantung “si-kon”.1
Keseimbangan perspektif teologis dan etis di atas pada akhirnya memampukan gereja untuk mengambil sikap pastoral terhadap anggota jemaat yang harus menghadapi perceraian dan ingin memasuki pernikahan kembali.
Akhirnya, sikap terhadap masalah perceraian dan pernikahan kembali perlu diteropong dari empat sumber iman dan teologi Kristen yang sejak awal sudah selalu mengasuh gereja: Alkitab, tradisi, pengalaman dan akal-budi. Keempatnya sering disebut segiempat teologis (theological quadrilateral). Mencari tahu apa kata Alkitab memang penting, bahkan sangat penting, namun tanpa diterangi oleh pengalaman masa kini, tradisi iman gereja serta akal-budi yang jernih, maka kita bisa terjebak ke dalam biblisisme ideologis.
Pernikahan Kristiani
Sebelum kita membahas isu perceraian dan pernikahan kembali, ada baiknya mengulangi secara singkat pemahaman gereja kita mengenai pernikahan. Baik Martin Luther maupun Yohanes Calvin sama-sama memahami bahwa pernikahan merupakan sebuah institusi sosial yang kudus, yang melibatkan lelaki dan perempuan yang diteguhkan dan diberkati oleh Allah. Dalam bahasa Calvin, pernikahan merupakan “sebuah tataan yang baik dan kudus dari Allah.”2
Akan tetapi, sebagai sebuah institusi sosial, pernikahan berada di dalam domain negara, bukan gereja. Dalam hal ini pandangan kedua reformator berbeda dengan Gereja Katolik Roma. Bagi Luther dan Calvin, gereja tidak mensahkan pernikahan, namun hanya meneguhkan dan memberkati pernikahan yang sudah disahkan oleh negara. Untuk menegaskan hal ini, Luther sendiri bahkan memilih untuk menikah secara sipil tanpa pemberkatan dan peneguhan di gereja. Negara dipahami sebagai instrumen Allah untuk mensahkan pernikahan. Bagi Calvin, pernikahan merupakan sebuah ikatan yang tak terpisahkan dan pasangan yang terhubung melalui pernikahan tak lagi memiliki kebebasan untuk berubah pikiran dan mencari pasangan lain.
Pemahaman semacam ini masih terus dipegang oleh GKI dan gereja-gereja arus utama lain pada umumnya. Akan tetapi, bagaimana dengan perceraian? Kita akan melihat bahwa dalam praktik pastoralnya, ternyata Calvin juga berhadapan dengan idealisme dan realisme yang menuntut mereka untuk mengambil sikap pastoral yang secara teologis masih bisa dipertanggungjawabkan, secara etis dapat diterima dan secara pastoral memanusiakan.
Pernikahan alternatif lain yang kini banyak diminati profesional muda di Cina adalah pernikahan DINK (Double Income No Kids). Meskipun sebenarnya pola pernikahan tersebut sudah sangat lumrah di negara-negara Barat namun di Cina dianggap sebagai pilihan gaya hidup yang sangat radikal.
"Saya tidak punya waktu untuk membesarkan anak atau bahkan mengandung. Lebih baik saya menabung dan hidup bahagia dengan suami," ujar salah satu profesional muda bernama samaran Liu di Cina yang bekerja di sebuah perusahaan Jepang.
Selain pernikahan asexual dan DINK, ada pernikahan alternatif lainnya yaitu pernikahan akhir pekan. Reuters yang merilis berita ini menyebutkan bahwa pada pernikahan tersebut, pasangan yang menikah akan hidup sendiri-sendiri di hari kerja demi privasi mereka dan baru berkumpul di akhir pekan.
"Di kemudian hari akan ada banyak pernikahan alternatif lainnya karena pemerintah Cina yang semakin campur tangan dengan kehidupan sehari-hari masyarakatnya," ujar Sun Zhongxin, pakar sosiologi dari universitas Fudan mengomentari fenomena di negaranya tersebut
www.google.com